Sultan Maulana Hasanuddin berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Banten. Ia mendirikan Kesultanan Banten sekaligus menjadi penguasa pertama di kerajaan Islam tersebut. Bagaimana sepak terjang Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan Islam di Banten? Ikuti kisahnya dalam cerita Sultan Maulana Hasanuddin berikut ini!
* * *
Tersebutlah
seorang tokoh penyebar agama Islam di Banten bernama Hasanuddin dengan
gelar Pangeran Sabakingkin atau Seda Kinkin. Gelar tersebut pemberian
dari kakeknya, Prabu Surasowan, yang menjabat sebagai Bupati Banten.
Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan Nyi Kawung Anten
(putri Prabu Surasowan) dengan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali (walisongo).
Ketika
Prabu Surasowan wafat, kedudukannya sebagai Bupati Banten digantikan
oleh putranya bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umum. Pusat
pemerintahannya berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu), yang masih
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk
Umum masih menganut agama resmi Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu.
Pada
masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus
kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah
wafat sebagai Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih
memilih menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren di Banten.
Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh Maulana Hasanuddin. Ketenarannya
pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu Pucuk Umum, sehingga
hubungan mereka menjadi tidak harmonis.
Meskipun
menetap di Banten, Syekh Maualana Hasanuddin sering mengunjungi sang
Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu
ketika, ia mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan
Islam di daerah Banten.
“Putraku,
Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah
cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh
rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.
Setiba
di Banten, Syekh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya.
Bersama para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah
lainnya, mulai dari Gunung Pulosari Gunung Karang atau Gunung Lor,
hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam
upaya penyebaran Islam ke seluruh daerah Banten, Syekh Maulana
Hasanuddin tidak jarang mendapat hambatan. Salah satunya datang dari
Prabu Pucuk Umum yang bersikukuh ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan
(Hindu) sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, Syekh
Maulana Hasanuddin menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten dapat
berjalan lancar.
Maka,
Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk berperang,
namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam jago. Hal ini
dilakkukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa dari kedua
belah pihak.
“Wahai,
Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah Banten,
kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan pertarungan
ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan kepadamu.
Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu
itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.
Tempat
adu kesaktian ayam jago itu akan dilaksanakan di lereng Gunung Karang
karena dianggap sebagai tempat yang netral. Pada hari yang telah
ditentukan, kedua pihak pun menuju lereng Gunung Karang. Prabu Pucuk
Umum dan Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa ayam jago, tetapi juga
membawa pasukan bersenjata untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Selain
itu, Prabu Pucuk Umum tampak membawa golok yang terselip di pinggang
dan tombak di genggamannya. Syekh Maulana Hasanuddin hanya membawa
sebilah keris pusaka warisan Wali Songo.
Setiba
di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umum mengambil tempat di tepi utara
arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai
leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syekh Maulana
Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah
dan sorban putih di kepala.
Sebelum
pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam
jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago
milik Prabu Pucuk Umum telah diberi ajian otot kawat tulang besi
dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik
Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal
terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur
Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula
ayat-ayat suci Alquran.
Konon,
ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang
pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia
adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara,
Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah
dirinya menjadi ayam jago.
Di
pinggir arena, kedua belah pihak tampak tegang. Syekh Maulana
Hasanuddin bersama rombongannya yang terdiri dari para ustadz dan santri
larut dalam doa memohon pertolongan dari Allah. Sementara itu, pihak
Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari ratusan ajar (pendeta) dan punggawa (panglima) juga terlihat komat-kamit membaca mantra.
Dalam suasana tegang, salah seorang Punggawa yang mewakili kedua belah pihak masuk ke tengah arena untuk membacakan pengumuman:
“Yang Mulia Syekh Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umum, perkenankanlah kami membacakan pengumuman sebagai berikut:
Pertama,
sebagaimana yang telah disepakati, bahwa apabila Prabu Pucuk Umum
kalah, maka pihak Maulauna Hasanuddin akan diberi kebebasan untuk
menyebarkan Islam di Banten. Sebaliknya, apabila Prabu Pucuk Umum yang
menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di
Banten Tengah dan Selatan.
Kedua, pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
Ketika,
kepada yang hadir agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan
tidak memasuki arena selama pertandingan berlangsung.
Demikian pengumuman ini kami sampaikan.”
Begitu
pengumaman selesai dibacakan, gong pun dibunyikan sebagai tanda
pertandingan akan dimulai. Kedua ayam jago segera dikeluarkan dari
sangkarnya masing-masing. Suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi
ramai. Riuh rendah suara penonton pun membahana memberi semangat kepada
kedua ayam jago yang akan bertarung.
Di
tengah gelanggang, kedua ayam jago saling mendekat. Sesekali keduanya
silih berganti berkokok dengan suara menantang. Pada saat
berhadap-hadapan dengan jarak sekitar dua meter, keduanya saling
menggertak dengan posisi miring sambil berputar-putar membentuk
lingkaran. Mata keduanya saling menatap sangat tajam seolah-olah
menyimpan dendam.
Selang
beberapa saat kemudian, ayam jago Pujuk Umum berhenti lalu mundur
setengah meter untuk mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, ia
bergerak maju menyerang sambil mengerahkan tajinya ke arah dada
lawannya. Ayam jago Maulana Hasanudian pun menyambut serangan itu. Tak
ayal, saat benturan fisik terjadi, keduanya pun terpental ke belakang.
Tubuh ayam jago Maulana Hasanuddin tidak mengalami luka sedikit pun.
Pertarungan
semakin seru. Kedua ayam jago itu kembali berhadap-hadapan. Ayam jago
Pucuk Umum kali ini tampak lebih beringas. Tatapan matanya semakin tajam
dan memerah. Sementara ayam jago Maulana Hasanuddin tetap berusaha
tenang setelah mendapat serangan pertama. Pertarungan semakin seru,
sorak sorai penonton kembali bergemah menyemangati jagonya
masing-masing.
“Hidup Prabu Pucuk Umum...! Hidup Syekh Maulana Hasanuddin..!”
Ketika
kedua ayam jago itu mulai bertarung lagi, suasana pun kembali mencekam.
Dengan gerakan liar, ayam jago Pucuk Umum menyerang lagi dan bermaksud
merobek dada musuhnya. Mendapat serangan kedua itu, ayam jago Maulana
Hasanuddin berkelit ke kanan dan ke kiri untuk menghindari taji keris
berbisa itu. Jago Pucuk Umum pun mulai kehilangan kesabaran. Ia semakin
kalap dan menyerang secara membabi buta. Tanpa diduga, tiba-tiba ayam
jago Maulana Hasanuddin terbang tinggi ke angkasa. Jago Pucuk Umum pun
menyusulnya sehingga terjadilah pertarungan sengit di udara. Semua
pandangan penonton tertuju pada kedua ayam jago yang berada di udara.
Tiba-tiba
ayam jago Pucuk Umum jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa.
Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana
Hasanuddin. Para pendudung Pucuk Umum pun menjadi bungkam, sedangkan
pendukung Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Akhirnya,
Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu
Pucuk Umum pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin
untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya
sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata
pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin
atas Banten Girang.
“Selamat,
Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini engkau
bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten
Girang,” ujar Prabu Pucuk Umum.
Setelah
itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya
kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung
barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar
wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umum, para pengikutnya
diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu.
Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai
suku Baduy.
Sedangkan
para pengikut Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari pendeta dan punggawa
Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syekh Maulana
Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syekh Maulana
Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan
tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati
Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan
ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya,
karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang
pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi
negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan
Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.
* * *
Demikian cerita Sultan Maulana Hasanuddin
dari daerah Banten. Cerita di atas hanyalah sebuah cerita rakyat, bukan
cerita yang berdasarkan fakta sejarah. Namun, di balik cerita ini
tersimpan pesan-pesan moral yang dapat dipetik, salah satunya adalah
bahwa para ulama dahulu menyebarkan agama Islam tidak selalu dilakukan
dengan perang yang melibatkan kontak fisik.